1.1. Latar Belakang
Pengawasan keuangan daerah merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah, untuk menjamin agar
penyelenggaraan kegiatan tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah
ditetapkan. Pengawasan bila dikaitkan dengan daur anggaran pemerintahan, maka pengawasan keuangan meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan. Dengan
kata lain, pengawasan keuangan sudah dimulai sejak tahap perencanaan dan berakhir pada tahap
pertanggungjawaban.
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam Pasal
1 menjelaskan ruang lingkup pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut :
“Keseluruhan kegiatan meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah”. Menguatkan isi Pasal
tersebut, selanjutnya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2011
tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, dikerucutkan pada proses Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang diawali dengan penyusunan RAPBD oleh Pemerintah
Daerah kemudian persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pengesahan
oleh Pemerintah Pusat, penetapan menjadi APBD sampai dengan implementasi dan
penerapan atau pemanfaatan anggaran dengan melaksanakan, menatausahakan serta
mempertanggungjawabkannya termasuk didalamnya adalah aspek pengawasan.
Di setiap
tahapan pengelolaan keuangan tersebut, aspek pengawasan menjadi strategis dan
penting dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang
bersih. Pengawasan merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu kegiatan, dengan
tujuan agar pelaksanaan kegiatan itu sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan, sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut S.F. Marbun
pengawasan berfungsi untuk memberi pengaruh dalam membangun untuk membentuk
masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan bernegara (integratif), pemelihara dan penjaga
keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (stabilitatif) dan
penyempurnaan terhadap tindakan administrasi negara maupun menjaga tindakan
warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat (perpektif), untuk mendapatkan keadilan (korektif).
Selanjutnya
menurut Adrian Sutedi, pengawasan
pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya penyelewengan atau
penyimpangan kegiatan atas tujuan yang akan dicapai. Melalui pengawasan
diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk
mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efesien. Bahkan
melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan
penentuan atau evaluasi atas suatu kegiatan.
Dalam
konteks manajemen, dikemukakan oleh George
R. Terry sebagaimana dikutip oleh Hadari
Nawawi bahwa :
“Pengawasan merupakan penutup dari
rangkaian fungsi-fungsi manajemen. Ini berarti bahwa dalam rangka tindakan
manajemen, fungsi pengawasan dilakukan terhadap semua aktifitas fungsi-fungsi
sebelumnya agar segala sesuatu berlangsung seperti yang ditetapkan”
Dari segi
manajemen tersebut, pengawasan mengandung makna sebagai pengamatan atas
pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar
seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.
Dalam hal ini pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencna yang telah
ditentukan dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan,
sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat diketahui yang kemudiaan dapat
dilakukan tindakan perbaikannya.
Pengawasan keuangan daerah penting
dilakukan sebagai upaya untuk memastikan anggaran dilaksanakan sesuai ketentuan
perundang-undangan. Objek
pengawasan keuangan daerah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
maka pengertian pengawasan keuangan daerah diihat dari segi komponen APBD dapat
pula dinyatakan sebagai berikut: “pengawasan keuangan daerah adalah segala
kegiatan untuk menjamin agar pengumpulan penerimaan-penerimaan daerah, dan
penyaluran pengeluaran-pengeluaran daerah, tidak menyimpang dari rencana yang
telah digariskan di dalam APBD”.
Menurut Revrisond
Baswir, tujuan pengawasan pada dasarnya
adalah untuk mengamati apa yang sungguh-sungguh terjadi serta membandingkannya
dengan apa yang seharusnya. Bila ternyata kemudian ditemukan adanya
penyimpangan atau hambatan, maka diharapkan akan segera dikenali untuk dilakukan
koreksi. Melalui tindakan koreksi ini, maka pelaksanaan kegiatan yang
bersangkutan diharapkan masih dapat mencapai tujuannya secara maksimal.
Salah satu
aspek pengawasan adalah pelaksanaan pemeriksaan. Pelaksanaan pemeriksaan ini
bertujuan untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan yang sesungguhnya telah
sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian penekanannya lebih pada upaya
untuk mengenali penyimpangan atau hambatan di dalam pelaksanaan kegiatan itu.
Sasaran
pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana
atau target. Sehingga koreksi yang dapat dilakukan adalah mengarahkan atau merekomendasikan
perbaikan; menyarankan agar ditekan adanya pemborosan dan mengoptimalkan
pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.
Pelaksanaan
fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dilakukan oleh pengawas
fungsional baik eksternal maupun internal pemerintah. Pengawasan atas keuangan daerah
secara garis besar dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu pengawasan internal
dan pengawasan eksternal. Pertama, Pengawasan
internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal
dan lingkungan internal organisasi pemerintah. Dalam hal pengawas dan yang
diawasi berada dalam suatu hirarki atau masih dalam hubungan atas-bawahan atau
masih dalam satu lingkup instansi disebut pengawasan internal. Pada tatanan
organisasi pemerintahan Indonesia, pelaksana fungsi ini pada tingkat
pemerintahan daerah adalah Inspektorat Daerah. Sedangkan pengawasan internal
yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dan lembaga khusus
pengawasan yang dibentuk secara internal oleh pemerintah atau lembaga eksekutif
adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kedua, pengawasan eksternal adalah suatu
bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit pengawasan yang sama sekali
berasal dan luar lingkungan organisasi eksekutif. Dengan demikian, dalam
pengawasan eksternal ini, antara pengawas dengan pihak yang diawasi tidak
terdapat lagi hubungan kedinasan. Di tingkatan daerah, fungsi pengawasan
eksternal ini, antara lain diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan (BPK), dan pengawasan secara langsung oleh
masyarakat.
Kaitannya
dengan penelitian ini tentang pengelolaan keuangan daerah, isu hukum yang diangkat
adalah berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012, Provinsi Sulawesi Tengah
mencatat peningkatan yang terbaik di 33 (tiga puluh tiga) Provinsi, dalam hal
ini meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Pencapaian pertama kali dalam
sejarah pengelolaan keuangan pemerintah daerah.
Namun Pemerintah
daerah yang meraih opini WTP, tidak bisa menjamin pengelolaan daerah tersebut bebas
dari tindak pidana korupsi.
Dari hasil pemeriksaan LKPD 2012 tersebut, BPK menemukan beberapa kelemahan.
Dalam implementasi Sistem Pengendalian Internal (SPI), terdapat empat temuan
pemeriksaan dan tujuh temuan pemeriksaan ketidakpatuhan pada peraturan
perundang-undangan.
Kelemahan berdasarkan SPI itu, pertama terkait dengan penyaluran Dana Jaminan
Kesehatan Provinsi yang tidak langsung ke rekening rumah sakit dan klain rumah
sakit yang belum dibayar. Hal ini dapat mengganggu likuiditas keuangan rumah
sakit dan mengganggu pelayanan rumah sakit, serta tunggakan klaim dari rumah
sakit sebesar Rp.2,01 miliar.
Kelemahan
kedua dalam SPI ini adalah soal Aset Lain-Lain yang berasal dari Reklasifikasi
Aset Tetap yang belum seluruhnya teridentifikasi. Saldo awal Aset Tetap menurut
Neraca disajikan senilai Rp3,67 triliun, sedangkan saldo awal menurut LBMD
dilaporkan senilai Rp3,34 triliun,
sehingga terdapat selisih sebesar Rp330,19 milyar, yang terdiri selisih lebih
Neraca dibanding Laporan Barang Milik Daerah (LBMD) senilai Rp438,50 milyar,
dan selisih kurang senilai Rp108,30 miliar.
Selanjutnya,
kelemahan lain pada aspek ini ditemukan dalam hal monitoring Pertanggungjawaban
Penggunaan Bantuan Hibah yang Belum Optimal. Hal ini mengakibatkan
pemberian dana hibah sebesar Rp10,44 milyar, belum seluruhnya dapat dievaluasi
ketepatan penggunaannya. Terhadap permasalahan ini, sampai dengan tanggal 10
Mei 2013 telah disampaikan bukti pertanggungjawaban penggunaan hibah senilai
Rp3,40 miliar, sehingga sisa senilai Rp7,04 miliar, belum dapat dievaluasi
ketepatan penggunaannya.
Selain itu,
Pengelolaan Aset Tetap Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah belum tertib,
meliputi: Penyajian Aset Tetap dalam LBMD pada 4 (empat) SKPD terdiri
dari tanah sebanyak 9 persil, peralatan dan mesin sebanyak 2.009 unit,
serta gedung dan bangunan sebanyak 21 unit tidak dilengkapi nilai barang;
Terdapat 21 unit BMD berupa bangunan dan kendaraan roda empat yang digunakan
pihak ketiga (instansi vertikal dan mantan pejabat) tanpa didukung perjanjian
pinjam pakai. Hal tersebut mengakibatkan Informasi akuntansi dan pelaporan
tidak memadai dan hak serta kewajiban atas pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD)
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tidak jelas.
Sementara
dalam hal ketidakpatuhan terhadap peraturan peraturan perundang-undangan,
tujuh kelemahan yang masih ditemukan antara lain meliputi Realisasi belanja
Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PPB) yang melebihi Bagi Hasil Biaya
Pemungutan yang disalurkan Pemerintah Pusat, sehingga terjadi kelebihan
pembayaran biaya pemungutan sebesar Rp358,82 juta. Terhadap kelebihan pembayaran
tersebut telah dilakukan penyetoran kembali ke kas daerah sampai dengan tanggal
10 Mei 2013 sebanyak dua bukti setor tanggal 8 dan 10 Mei 2013 senilai Rp358,82
juta.
Berikut
dalam hal Belanja Barang dan Jasa pada Biro Keuangan tidak sesuai ketentuan,
sehingga berindikasi merugikan daerah sebesar Rp179,34 juta. Terhadap indikasi
kerugian daerah tersebut juga telah dilakukan penyetoran ke kas daerah, sampai
dengan tanggal 10 Mei 2013 sebanyak lima bukti setor senilai Rp179,34
juta,sehingga indikasi kerugian daerah telah terpulihkan.
Termasuk
dalam Realisasi volume pekerjaan atas Belanja Modal TA 2012 tidak sesuai
kontrak, berindikasi merugikan daerah sebesar Rp325,73 juta. Terhadap indikasi
kerugian daerah tersebut telah dilakukan penyetoran ke kas daerah sampai dengan
tanggal 21 Mei 2013 sebanyak 13 bukti setor senilai Rp325,73 juta sehingga
kerugian negara telah terpulihkan.
Selain itu,
dari unsur kepatuhan terhadap perundangan-undangan ini, kelemahan lain
ditemukan melalui hasil pemeriksaan bahwa Penyedia Barang/Jasa Pekerjaan
Peningkatan Jalan Momunu-Kalikulango Kabupaten Buol tidak menyelesaikan
pekerjaan, sehingga terjadi kelebihan realisasi pembayaran yang berindikasi
merugikan keuangan daerah sebesar Rp63,66 juta dan jaminan pelaksanaan senilai
Rp.221,86 juta terlambat dicairkan.
Dua hal
lainnya, yakni pertanggungjawaban Belanja Perjalanan Dinas pada Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tengah berindikasi tidak benar, sehingga berindikasi
merugikan daerah sebesar Rp.2,37 miliar. Terhadap indikasi kerugian daerah
tersebut telah dilakukan penyetoran ke kas daerah sampai dengan tanggal 10 Mei
2013 sebanyak 522 bukti setor, seluruhnya senilai Rp2,37 miliar, sehingga
kerugian daerah telah terpulihkan. Juga pekerjaan Rehabilitasi DI Malonas
dikerjakan tidak sesuai kontrak, berindikasi merugikan daerah sebesar Rp134,53.
Terhadap indikasi kerugian daerah ini telah dilakukan penyetoran ke kas daerah
tanggal 21 Mei 2013 senilai Rp134,53 juta, sehingga kerugian daerah telah
terpulihkan.
Sementara kasus-kasus
dugaan korupsi yang pernah muncul dan menjadi perhatian publik diantaranya
adalah dua staf ahli Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, Kasman Lassa (staf ahli bidang hukum dan politik) dan Yuliansyah (staf ahli bidang ekonomi
dan keuangan) menjadi tersangka dugaan korupsi anggaran rehabilitasi Gedung
Wanita yang berlokasi di Jalan Muhammad Yamin, Palu Selatan. Posisi keduanya
saat masih menjabat sebagai Kepala Biro Perlengkapan Umum dan Asset Daerah.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah menyatakan dalam rehabilitasi Gedung Wanita
tersebut anggaran dikucurkan tiga tahap yakni tahapan pertama pada 2007, tahap
kedua 2009, dan tahap ketiga 2010. Dari itu negara dirugikan sebesar Rp1,4
miliar dari anggaran keseluruhan Rp10,9 miliar.
Isu hukum
lain dalam efektivitas pengawasan keuangan daerah adalah persoalan konsekwensi
yuridis apabila ditemukan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah melalui
pengawasan. Isu sentralnya adalah klasifikasi penyimpangan pengelolaan keuangan
daerah sebagai perbuatan pelanggaran hukum administrasi atau merupakan tindak
pidana korupsi. Dari isu tersebut, berbagai persoalan lain menyangkut kedudukan
hasil pengawasan sebagai dasar penuntutan pidana, penuntutan ganti kerugian atau
bagaimana jika dalam pengawasan yang dilakukan tidak ditemukan adanya
penyimpangan, tetapi justru menjadi sebuah tindak pidana korupsi yang diungkap
oleh Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut pandangan
penegakan hukum, instrumen pidana bukan merupakan satu-satunya sarana
penyelesaian terhadap pelanggaran hukum. Setidaknya dikenal penegakan hukum
administrasi oleh pejabat tata usaha negara, dan penegakan hukum perdata
melalui gugatan keperdataan oleh korban yang dirugikan. Bahkan dalam hukum
pidana sendiri sejak lama dikenal dengannya sifat ultimum remedium, yang bermakna bahwa sanksi pidana akan digunakan
untuk menyelesaikan pelanggaran hukum jika instrumen hukum yang lain tidak
memberi kepuasan.
Sifat ultimum remedium dari hukum
pidana hendaknya tetap merupakan politik kriminal dari pemerintah, mengingat
sifat sanksi dari hukum pidana pada hakikatnya memberikan penderitaan bagi
masyarakat.
Aspek pengawasan
merupakan objek yang penting dalam negara hukum, bahkan menjadi salah satu
pilar yang harus ada untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki
oleh penyelenggara negara. Terlebih dalam pengelolaan keuangan daerah,
pengawasan dapat menghindarkan terjadinya kerugian daerah oleh ulah para
pengelola keuangan. Terselamatkannya keuangan daerah dari “kebocoran” adalah
lebih menguntungkan dibanding dengan langkah yang diambil setelah keuangan
daerah mengalami “kebocoran”.
Berangkat dari
uraian di atas, serta pentingnya pelaksanaan pengawasan pengelolaan keuangan
daerah Propinsi Sulawesi Tengah. Maka penulis mengangkat judul penelitian sebagai
berikut “Efektivitas Pengawasan
Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut diatas, Penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1) Bagaimana pelaksanaan pengawasan pengelolaan keuangan daerah Provinsi
Sulawesi Tengah?
2) Apa konsekwensi yuridis apabila
ditemukan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah melalui pengawasan?
Radar Sulteng, Edisi Kamis
30 Mei 2013, Pemerintah Sulteng Akhirnya
Raih WTP, Pertama Kali Dalam Sejarah Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah.
Palu.
Mercusuar, Edisi Jumat 19 Juli 2013, Pemda Meraih WTP, Tak Menjamin Bebas
Korupsi, Palu.
Edi Setiadi, Mimbar, Vol. XXVII, No. 2 Desember 2011, Membangun KUHP Nasional yang
Berbasis Ke-Indonesiaan, Universitas Islam Bandung, hlm 208.
selengkapnya