FGD Penyusunan NA Ranperda Mamuju Utara
Bersama Anggota DPRD Matra dan Tim Ahli Untad
Desa sebagai organisasi pemerintahan terendah di bawah kecamatan sesungguhnya telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan sudah dikenal oleh bangsa Indonesia jauh sebelum Negara Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam lembaran sejarah ketatanegaraan Indonesia tercatat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun di atas dan dari Desa. Dari dulu hingga sekarang, Desa merupakan pelopor sistim demokrasi yang otonom. Sejak dari dulu Desa memiliki sistim dan mekanisme pemerintahan, serta perangkat norma sosial dan nilai-nilai yang tumbuh dan terpelihara oleh masyarakat setempat.

Desa sebagai sebuah wilayah pemerintahan yang bersifat otonom memang diberikan hak-hak istimewa. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan:
“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Frasa yang menyebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, sesungguhnya mengandung makna bahwa Desa adalah suatu organisasi pemerintahan yang bersifat otonom.

Kedudukan Desa sebagai suatu organisasi pemerintahan yang bersifat otonom mengalami perkembangan seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat Indonesia dalam bidang politik, hukum, sosial-budaya, dan dalam ekonomi. Dinamika perkembangan Desa dari aspek politik tampak ketika warga masyarakat Desa memiliki kematangan dalam berdemokrasi, khususnya dalam hal menentukan Kepala Desa sebagai pemimpin pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakat di Desa. Jika pada masa lampau, Kepala Desa disepakati oleh warga masyarakat Desa dari tokoh masyarakat yang terkemuka, kini penentuan jabatan Kepala Desa didasarkan pada hasil pemilihan langsung warga masyarakat desa. Kepala Desa yang terpilih adalah calon kepala Desa yang memiliki perolehan suara terbanyak dari calon kepala Desa yang lainnya dalam suatu proses pemilihan kepala Desa.

Seiring dengan perkembangan politik pemerintahan desa, juga terjadi perubahan peraturan perundang-undangan yang mendasari tata kelola pemerintahan desa. Sejak Negara Indonesia merdeka hingga sampai sekarang ini, sudah silih berganti Undang-Undang yang mengatur tata kelola pemerintahan desa. Pada masa pemerintahan orde lama, regulasi tata kelola pemerintahan Desa didasarkan pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa praja (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 84). Lalu, pada masa pemerintahan orde baru, tata kelola pemerintahan desa berpijak pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya, pada awal Tahun 2014 ini, Presiden telah mengesahkan undang-undang baru yang menjadi dasar tata kelola pemerintahan Desa, yakni Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Selain adanya dinamika politik dan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelola pemerintahan Desa, eksistensi pemerintahan Desa juga mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, desa merupakan agen pemerintah terdepan yang dapat menjangkau kelompok sasaran riil yang hendak disejahterakan, yaitu dengan membentuk suatu badan usaha yaitu Badan Usaha Milik Desa yang sesuai dengan Permendagri Nomor 39 tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa, yang menyebutkan bahwa: 
“Untuk meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui berbagai kegiatan usaha ekonomi masyarakat pedesaan, didirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa”.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) ini usaha desa yang dibentuk/didirikan oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat. Pembentukan badan usaha milik desa ini juga berdasarkan pada Permendagri nomor 39 tahun 2010 pada bab II tentang pembentukan badan usaha milik desa. Pembentukan ini berasal dari pemerintah kabupaten/kota dengan menetapkan peraturan daerah tentang pedoman tata cara pembentukan dan pengelolaan bumdes. Selanjutnya pemerintah desa membentuk BUMDes dengan peraturan desa yang berpedoman pada peraturan daerah. 

BUMDes ini diharapkan juga mampu menstimulasi dan menggerakkan roda perekonomian di pedesaan. Aset ekonomi yang ada di desa harus dikelola sepenuhnya oleh masyarakat desa. Substansi dan filosofi BUMDes harus dijiwai dengan semangat kebersamaan sebagai upaya memperkuat aspek ekonomi kelembagaannya. Pada tahap ini, BUMDes akan bergerak seirama dengan upaya meningkatkan sumber-sumber pendapatan asli desa, menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat di mana peran BUMDes sebagai institusi payung.

selengkapnya
Selasa, 25 Maret 2014

Seminar Bantuan Hukum

Seminar Bantuan Hukum LBH Untad
Palu, 25 Maret 2014
Gerakan Bantuan Hukum; Akses Masyarakat Miskin di Pengadilan

Bantuan hukum pada hakekatnya adalah segala upaya pemberian bantuan hukum dan pelayanan hukum pada masyarakat, agar mereka memperoleh semua haknya yang diberikan oleh negara. Bantuan hukum menjadi hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayaran (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak dihadapan hukum.

Bantuan Hukum itu sifatnya membela kepentingan masyarakat terlepas dari latar belakang, asal usul, keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, kaya, miskin, dan agama. Konsepsi Bantuan Hukum dicetuskan sebagai konsekwensi cara memandang dan memahami akan hukum dalam pola hubungan sosial yang tidak adil tersebut. Oleh karena itu hukum yang sering didambakan dalam masyarakat bahkan sering mengecewakan masyarakat itu sendiri.

Oleh karena itu peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu/golongan lemah adalah sangat penting. Seorang penasihat hukum dalam menjalankan profesinya harus selalu berdasarkan pada suatu kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan guna mewujudkan suatu pemerataan dalam bidang hukum yaitu kesamaan kedudukan dan kesempatan untuk memperoleh suatu keadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun 1945, di mana didalamnya ditegaskan bahwa fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara. Terlebih lagi prinsip persamaan di hadapan hukum (Equality before the law) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum. 

Hal tersebut secara tegas dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1), yang berbunyi: 
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 

Melihat hal tersebut menegaskan bahwa gerakan bantuan hukum sesungguhnya merupakan gerakan konstitusional dan mendapatkan jaminan langsung dari konstitusi. Contoh berikutnya terkait dengan peranan lembaga bantuan hukum dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma terhadap orang yang tidak mampu dalam proses perkara pidana dinyatakan dalam KUHAP. Dimana didalamnya dijelaskan bagi mereka yang tidak mampu, yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri maka pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. 

Berdasarkan permasalahan yang memiliki dimensi keadilan dan Kepastian hukum tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Universitas Tadulako (LBH Untad) melakukan rekrutmen Paralegal (asisten advokat) melalui serangkaian kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang berkenaan dengan Penalaran dan Kemahiran Praktek Hukum bagi Para Mahasiswa. 

Hal ini sangat penting karena mengingat peran mahasiswa sebagai funnel society (corong masyarakat) dalam menyelesaikan masalah sosial. Berkenaan dengan itu bahwa pengabdian mahasiswa terhadap masyarakat merupakan salah satu dari Tri Darma Perguruan Tinggi. Maka tidak dapat dipungikiri lagi bahwa mahasiswa harus berani tampil dan menerapkan teori-teori yang didapatkanya pada saat kuliah, baik itu melakukan pendampingan hukum secara Litigasi maupun Non Litigasi.

selengkapnya

1.1.  Latar Belakang
Pengawasan keuangan daerah merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah, untuk menjamin agar penyelenggaraan kegiatan tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah ditetapkan. Pengawasan bila dikaitkan dengan daur anggaran pemerintahan, maka pengawasan keuangan meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan. Dengan kata lain, pengawasan keuangan sudah dimulai sejak tahap perencanaan dan berakhir pada tahap pertanggungjawaban.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam Pasal 1 menjelaskan ruang lingkup pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut : “Keseluruhan kegiatan meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah”. Menguatkan isi Pasal tersebut, selanjutnya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dikerucutkan pada proses Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diawali dengan penyusunan RAPBD oleh Pemerintah Daerah kemudian persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pengesahan oleh Pemerintah Pusat, penetapan menjadi APBD sampai dengan implementasi dan penerapan atau pemanfaatan anggaran dengan melaksanakan, menatausahakan serta mempertanggungjawabkannya termasuk didalamnya adalah aspek pengawasan.
Di setiap tahapan pengelolaan keuangan tersebut, aspek pengawasan menjadi strategis dan penting dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih. Pengawasan merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu kegiatan, dengan tujuan agar pelaksanaan kegiatan itu sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut S.F. Marbun[1] pengawasan berfungsi untuk memberi pengaruh dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan bernegara (integratif), pemelihara dan penjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (stabilitatif) dan penyempurnaan terhadap tindakan administrasi negara maupun menjaga tindakan warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat (perpektif), untuk mendapatkan keadilan (korektif).
Selanjutnya menurut Adrian Sutedi, pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya penyelewengan atau penyimpangan kegiatan atas tujuan yang akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efesien. Bahkan melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi atas suatu kegiatan.[2]

Dalam konteks manajemen, dikemukakan oleh George R. Terry sebagaimana dikutip oleh Hadari Nawawi bahwa :
“Pengawasan merupakan penutup dari rangkaian fungsi-fungsi manajemen. Ini berarti bahwa dalam rangka tindakan manajemen, fungsi pengawasan dilakukan terhadap semua aktifitas fungsi-fungsi sebelumnya agar segala sesuatu berlangsung seperti yang ditetapkan” [3]

Dari segi manajemen tersebut, pengawasan mengandung makna sebagai pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan. Dalam hal ini pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencna yang telah ditentukan dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat diketahui yang kemudiaan dapat dilakukan tindakan perbaikannya.
Pengawasan keuangan daerah penting dilakukan sebagai upaya untuk memastikan anggaran dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undanganObjek pengawasan keuangan daerah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka pengertian pengawasan keuangan daerah diihat dari segi komponen APBD dapat pula dinyatakan sebagai berikut: “pengawasan keuangan daerah adalah segala kegiatan untuk menjamin agar pengumpulan penerimaan-penerimaan daerah, dan penyaluran pengeluaran-pengeluaran daerah, tidak menyimpang dari rencana yang telah digariskan di dalam APBD”.
Menurut Revrisond  Baswir[4], tujuan pengawasan pada dasarnya adalah untuk mengamati apa yang sungguh-sungguh terjadi serta membandingkannya dengan apa yang seharusnya. Bila ternyata kemudian ditemukan adanya penyimpangan atau hambatan, maka diharapkan akan segera dikenali untuk dilakukan koreksi. Melalui tindakan koreksi ini, maka pelaksanaan kegiatan yang bersangkutan diharapkan masih dapat mencapai tujuannya secara maksimal.
Salah satu aspek pengawasan adalah pelaksanaan pemeriksaan. Pelaksanaan pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan yang sesungguhnya telah sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian penekanannya lebih pada upaya untuk mengenali penyimpangan atau hambatan di dalam pelaksanaan kegiatan itu.
Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target. Sehingga koreksi yang dapat dilakukan  adalah mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan; menyarankan agar ditekan adanya pemborosan dan mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.[5]
Pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dilakukan oleh pengawas fungsional baik eksternal maupun internal pemerintah. Pengawasan atas keuangan daerah secara garis besar dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pertama, Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dan lingkungan internal organisasi pemerintah. Dalam hal pengawas dan yang diawasi berada dalam suatu hirarki atau masih dalam hubungan atas-bawahan atau masih dalam satu lingkup instansi disebut pengawasan internal. Pada tatanan organisasi pemerintahan Indonesia, pelaksana fungsi ini pada tingkat pemerintahan daerah adalah Inspektorat Daerah. Sedangkan pengawasan internal yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dan lembaga khusus pengawasan yang dibentuk secara internal oleh pemerintah atau lembaga eksekutif adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kedua, pengawasan eksternal adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit pengawasan yang sama sekali berasal dan luar lingkungan organisasi eksekutif. Dengan demikian, dalam pengawasan eksternal ini, antara pengawas dengan pihak yang diawasi tidak terdapat lagi hubungan kedinasan. Di tingkatan daerah, fungsi pengawasan eksternal ini, antara lain diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan (BPK), dan pengawasan secara langsung oleh masyarakat.
Kaitannya dengan penelitian ini tentang pengelolaan keuangan daerah, isu hukum yang diangkat adalah berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012, Provinsi Sulawesi Tengah mencatat peningkatan yang terbaik di 33 (tiga puluh tiga) Provinsi, dalam hal ini meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Pencapaian pertama kali dalam sejarah pengelolaan keuangan pemerintah daerah.[6]
Namun Pemerintah daerah yang meraih opini WTP, tidak bisa menjamin pengelolaan daerah tersebut bebas dari tindak pidana korupsi.[7] Dari hasil pemeriksaan LKPD 2012 tersebut, BPK menemukan beberapa kelemahan. Dalam implementasi Sistem Pengendalian Internal (SPI), terdapat empat temuan pemeriksaan dan tujuh temuan pemeriksaan ketidakpatuhan pada peraturan perundang-undangan.[8] Kelemahan berdasarkan SPI itu, pertama terkait dengan penyaluran Dana Jaminan Kesehatan Provinsi yang tidak langsung ke rekening rumah sakit dan klain rumah sakit yang belum dibayar. Hal ini dapat mengganggu likuiditas keuangan rumah sakit dan mengganggu pelayanan rumah sakit, serta tunggakan klaim dari rumah sakit sebesar Rp.2,01 miliar.
Kelemahan kedua dalam SPI ini adalah soal Aset Lain-Lain yang berasal dari Reklasifikasi Aset Tetap yang belum seluruhnya teridentifikasi. Saldo awal Aset Tetap menurut Neraca disajikan senilai Rp3,67 triliun, sedangkan saldo awal menurut LBMD dilaporkan senilai Rp3,34 triliun[9], sehingga terdapat selisih sebesar Rp330,19 milyar, yang terdiri selisih lebih Neraca dibanding Laporan Barang Milik Daerah (LBMD) senilai Rp438,50 milyar, dan selisih kurang senilai Rp108,30 miliar.
Selanjutnya, kelemahan lain pada aspek ini ditemukan  dalam hal monitoring Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Hibah yang Belum Optimal.  Hal ini  mengakibatkan pemberian dana hibah sebesar Rp10,44 milyar, belum seluruhnya dapat dievaluasi ketepatan penggunaannya. Terhadap permasalahan ini, sampai dengan tanggal 10 Mei 2013 telah disampaikan bukti pertanggungjawaban penggunaan hibah senilai Rp3,40 miliar, sehingga sisa senilai Rp7,04 miliar, belum dapat dievaluasi ketepatan penggunaannya.
Selain itu, Pengelolaan Aset Tetap Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah belum tertib, meliputi: Penyajian Aset Tetap dalam LBMD pada 4 (empat) SKPD terdiri dari  tanah sebanyak 9 persil, peralatan dan mesin sebanyak 2.009 unit, serta gedung dan bangunan sebanyak 21 unit tidak dilengkapi nilai barang; Terdapat 21 unit BMD berupa bangunan dan kendaraan roda empat yang digunakan pihak ketiga (instansi vertikal dan mantan pejabat) tanpa didukung perjanjian pinjam pakai. Hal tersebut mengakibatkan Informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai dan hak serta kewajiban atas pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD) Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tidak jelas.
Sementara dalam hal ketidakpatuhan terhadap peraturan peraturan perundang-undangan,[10] tujuh kelemahan yang masih ditemukan antara lain meliputi Realisasi belanja Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PPB) yang melebihi Bagi Hasil Biaya Pemungutan yang disalurkan Pemerintah Pusat, sehingga terjadi kelebihan pembayaran biaya pemungutan sebesar Rp358,82 juta. Terhadap kelebihan pembayaran tersebut telah dilakukan penyetoran kembali ke kas daerah sampai dengan tanggal 10 Mei 2013 sebanyak dua bukti setor tanggal 8 dan 10 Mei 2013 senilai Rp358,82 juta.
Berikut dalam hal Belanja Barang dan Jasa pada Biro Keuangan tidak sesuai ketentuan, sehingga berindikasi merugikan daerah sebesar Rp179,34 juta. Terhadap indikasi kerugian daerah tersebut juga telah dilakukan penyetoran ke kas daerah, sampai dengan tanggal 10 Mei 2013 sebanyak lima bukti setor senilai Rp179,34 juta,sehingga indikasi kerugian daerah telah terpulihkan.
Termasuk dalam Realisasi volume pekerjaan atas Belanja Modal TA 2012 tidak sesuai kontrak, berindikasi merugikan daerah sebesar Rp325,73 juta. Terhadap indikasi kerugian daerah tersebut telah dilakukan penyetoran ke kas daerah sampai dengan tanggal 21 Mei 2013 sebanyak 13 bukti setor senilai Rp325,73 juta sehingga kerugian negara telah terpulihkan.
Selain itu, dari unsur kepatuhan terhadap perundangan-undangan ini, kelemahan lain ditemukan melalui hasil pemeriksaan bahwa Penyedia Barang/Jasa Pekerjaan Peningkatan Jalan Momunu-Kalikulango Kabupaten Buol tidak menyelesaikan pekerjaan, sehingga terjadi kelebihan realisasi pembayaran yang berindikasi merugikan keuangan daerah sebesar Rp63,66 juta dan jaminan pelaksanaan senilai Rp.221,86 juta terlambat dicairkan.
Dua hal lainnya, yakni pertanggungjawaban Belanja Perjalanan Dinas pada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah berindikasi tidak benar, sehingga berindikasi merugikan daerah sebesar Rp.2,37 miliar. Terhadap indikasi kerugian daerah tersebut telah dilakukan penyetoran ke kas daerah sampai dengan tanggal 10 Mei 2013 sebanyak 522 bukti setor, seluruhnya senilai Rp2,37 miliar, sehingga kerugian daerah telah terpulihkan. Juga pekerjaan Rehabilitasi DI Malonas dikerjakan tidak sesuai kontrak, berindikasi merugikan daerah sebesar Rp134,53. Terhadap indikasi kerugian daerah ini telah dilakukan penyetoran ke kas daerah tanggal 21 Mei 2013 senilai Rp134,53 juta, sehingga kerugian daerah telah terpulihkan.
Sementara kasus-kasus dugaan korupsi yang pernah muncul dan menjadi perhatian publik diantaranya adalah dua staf ahli Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, Kasman Lassa (staf ahli bidang hukum dan politik) dan Yuliansyah (staf ahli bidang ekonomi dan keuangan) menjadi tersangka dugaan korupsi anggaran rehabilitasi Gedung Wanita yang berlokasi di Jalan Muhammad Yamin, Palu Selatan. Posisi keduanya saat masih menjabat sebagai Kepala Biro Perlengkapan Umum dan Asset Daerah. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah menyatakan dalam rehabilitasi Gedung Wanita tersebut anggaran dikucurkan tiga tahap yakni tahapan pertama pada 2007, tahap kedua 2009, dan tahap ketiga 2010. Dari itu negara dirugikan sebesar Rp1,4 miliar dari anggaran keseluruhan Rp10,9 miliar.[11]
Isu hukum lain dalam efektivitas pengawasan keuangan daerah adalah persoalan konsekwensi yuridis apabila ditemukan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah melalui pengawasan. Isu sentralnya adalah klasifikasi penyimpangan pengelolaan keuangan daerah sebagai perbuatan pelanggaran hukum administrasi atau merupakan tindak pidana korupsi. Dari isu tersebut, berbagai persoalan lain menyangkut kedudukan hasil pengawasan sebagai dasar penuntutan pidana, penuntutan ganti kerugian atau bagaimana jika dalam pengawasan yang dilakukan tidak ditemukan adanya penyimpangan, tetapi justru menjadi sebuah tindak pidana korupsi yang diungkap oleh Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut pandangan penegakan hukum, instrumen pidana bukan merupakan satu-satunya sarana penyelesaian terhadap pelanggaran hukum. Setidaknya dikenal penegakan hukum administrasi oleh pejabat tata usaha negara, dan penegakan hukum perdata melalui gugatan keperdataan oleh korban yang dirugikan. Bahkan dalam hukum pidana sendiri sejak lama dikenal dengannya sifat ultimum remedium, yang bermakna bahwa sanksi pidana akan digunakan untuk menyelesaikan pelanggaran hukum jika instrumen hukum yang lain tidak memberi kepuasan.[12] Sifat ultimum remedium dari hukum pidana hendaknya tetap merupakan politik kriminal dari pemerintah, mengingat sifat sanksi dari hukum pidana pada hakikatnya memberikan penderitaan bagi masyarakat.
Aspek pengawasan merupakan objek yang penting dalam negara hukum, bahkan menjadi salah satu pilar yang harus ada untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh penyelenggara negara. Terlebih dalam pengelolaan keuangan daerah, pengawasan dapat menghindarkan terjadinya kerugian daerah oleh ulah para pengelola keuangan. Terselamatkannya keuangan daerah dari “kebocoran” adalah lebih menguntungkan dibanding dengan langkah yang diambil setelah keuangan daerah mengalami “kebocoran”.
Berangkat dari uraian di atas, serta pentingnya pelaksanaan pengawasan pengelolaan keuangan daerah Propinsi Sulawesi Tengah. Maka penulis mengangkat judul penelitian sebagai berikut “Efektivitas Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah”

1.2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, Penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1)   Bagaimana pelaksanaan pengawasan pengelolaan keuangan daerah Provinsi Sulawesi Tengah?
2)   Apa konsekwensi yuridis apabila ditemukan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah melalui pengawasan?



[1] S.F. Marbun, dalam Bachrul Amiq, 2010, Aspek Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah, LaksBang Preesindo, Yogyakarta, hlm 36.
[2] Adrian Sutedi, 2012, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 171.
[3] Hadari Nawawi, 1989, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 13.
[4] Revrisond  Baswir, 2004, Manajemen Keuangan Daerah, Erlangga, Jakarta.
[5] Adrian Sutedi, Op Cit, hlm 171.
[6] Radar Sulteng, Edisi Kamis 30 Mei 2013, Pemerintah Sulteng Akhirnya Raih WTP, Pertama Kali Dalam Sejarah Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah. Palu.
[7]  Mercusuar, Edisi Jumat 19 Juli 2013, Pemda Meraih WTP, Tak Menjamin Bebas Korupsi, Palu.
[8] Ibid.
[9] Laporan Inspektorat Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 708/42.1/LHE/PST/RHS/V/13/Itda Tanggal 29 April 2013 tentang Evaluasi dan Pengelolaan Aset.
[10] Ibid.
[11] Anonim, Dua Staf Ahli Gubernur Sulteng Jadi Tersangka Korupsi, Jumat 13 Januari 2012, Sumber: http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=9815&l=dua-staf-ahli-gubernur-sulteng-jadi-tersangka-korupsi, diakses pada 30 Juli 2013.
[12]  Edi Setiadi, Mimbar, Vol. XXVII, No. 2 Desember 2011, Membangun KUHP Nasional yang Berbasis Ke-Indonesiaan, Universitas Islam Bandung,  hlm 208.

selengkapnya

(Studi Perbandingan Kewenangan Mahkamah Konstitusi RI dengan Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman)

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Khusus dalam sistem kekuasaan kehakiman (yudikatif) di samping Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, telah muncul Mahkamah Konstitusi.
Kelahiran Mahkamah Konstitusi pada pasca-amandemen UUD 1945 telah membawa Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik. Hal ini karena adanya suatu lembaga tersendiri yang secara khusus menjaga martabat UUD 1945 sebagai norma tertinggi di Indonesia, sehingga setiap tindakan yang berkaitan dengan konstitusi dapat ditanggapi secara khusus pula di Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan 2 kewajiban konstitusional (constitutional obligation) sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah: (1) menguji undang-undang terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai politik. 
Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi terdiri (1) Memeriksa apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7A UUD 1945). (2) Pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945 (Pasal 24C ayat (2) UUD 1945).
Berdasarkan hal tersebut, jalan hukum yang tersedia bagi warga negara yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar atau dilalaikan oleh pejabat publik atau pemerintahan hanya dapat mempertahankan dan memperoleh perlindungan konstitusional melalui proses peradilan konstitusional di Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945. 

Sehingga saat ini dapat diasumsikan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara hanya terjadi karena pembentuk undang-undang membuat undang-undang yang ternyata telah melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Padahal pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara bukan hanya dapat terjadi melalui undang-undang saja, tetapi bisa juga melalui peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. 

Sepanjang sejarah Mahkamah Konstitusi, ada beberapa permohonan yang pada dasarnya berupa kerugian konstitusional individual atau cenderung bersifat individual atau diskriminasi kelompok misalnya kasus SKB tiga menteri terhadap Jamaah Ahmadiyah. Selain itu, ketika terdapat seseorang yang divonis melalui putusan Peninjauan Kembali, tetapi putusan tersebut salah dalam penerapan hukumnya dan jika terpidana itu memiliki novum (bukti-bukti baru), perkaranya bisa dipertanyakan atau diajukan kembali. Terkait dengan kasus tersebut, oleh mantan wakil ketua Mahkamah Konstitusi, Leica Marzuki, dipandang termasuk atau tergolong pengaduan konstitusional (Constitutional Complaint). 

Akan tetapi, mekanisme untuk memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara yang berlaku saat ini sebagaimana dijelaskan sebelumnya hanya dapat dilakukan melalui pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Padahal berbagai persoalan tersebut tidak atau belum termasuk pada ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus constitusional complaint. 
Oleh karena itu penting untuk dilakukan suatu kajian terhadap mekanisme constitutional complaint melalui studi perbandingan dengan negara yang juga megadopsi sistem atau prosedur hukum terhadap perlindungan hak konstitusional warga negara melalui peradilan konstitusi khususnya negara yang mengadopsi mekanisme constitusional complaint tersebut. 
Disamping itu kebutuhan akan kewenangan constitutional complaint perlu diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yang dapat dipandang sebagai Ius Constituendum. Hal ini semata-mata ditempuh untuk memberikan perlindungan konstitusional secara penuh (fully constitutional protection). Dengan demikian Mahkamah Konstitusi harus mulai memikirkan kemungkinan terciptanya instrumen constitutional complaint dengan juga melihat studi perbandingan sistem sejenis yang sudah di terapkan negara lain. 

selengkapnya

Oleh: Mahadin Hamran
Ketua Umum HMI-MPO Cabang Palu)

Keberadaan tambang emas Poboya yang akan dikelola oleh perusahaan Central Palu Mineral (PT CPM), anak perusahaan dari PT Bumi Resources, patut untuk dikaji. Selama ini, nuansa kepentingan ekonomi-politik di Poboya lebih dominan dibandingkan dengan kajian ilmiah yang didasarkan pada kesadaran akan keselamatan masyarakat secara keseluruhan. Sebab, sudah terbukti ketika wacana ekonomi-politik dipisahkan dari nilainya (moralitas), hanya akan mendukung investasi demi keuntungan para elit tertentu, daripada keselamatan manusia dan lingkungan di masa depan.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengurai beberapa fakta yang bisa dipandang sebagai wacana pembentukan kesadaran masyarakat, agar kelak dijadikan dasar ilmiah untuk menolak eksplorasi PT Citra Palu Mineral di Poboya.


Fakta ini berkaitan dengan kejadian di beberapa daerah-daerah di Indonesia, serta di negara lain yang memiliki sumber daya alam (tambang emas) yang sama, sebagai potensi investasi ekonomi-politik, yang di satu sisi menghasilkan keuntungan, tetapi di sisi lain juga mengakibatkan bencana kemanusiaan dan kerusakan lingkungan.
Isu tentang lingkungan dan keselamatan manusia inilah, sebagai sisi lain yang harus dikedepankan dibandingkan dengan aspek ekonomi-politik dan investasi. Fakta-fakta ini akan menjadi masukan kepada semua pihak untuk dijadikan analisa kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia, khususnya masyarakat Kota Palu dalam kurun waktu 10-20 tahun ke depan.
Keberadaan tambang emas Poboya di Kota Palu sejak awal sudah mendapat penolakan berbagai pihak. Sejak PT Citra Palu Mineral resmi mengantongi izin kontrak karya pada 7 Maret 1997, Departemen Kehutanan pernah menolak rencana pengeboran uji coba karena tumpang tindih dengan kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat (Tahura) Poboya.
Daerah Tahura sendiri adalah kawasan yang diproyeksikan sebagai penyangga dan juga sebagai wilayah resapan air, yang akan dimanfaatkan dan digunakan sebagai pemasok air terbesar untuk Kota Palu dan sekitarnya. Jika dibiarkan perusahaan melakukan eksplorasi, maka penggunaan air oleh perusahaan lebih dominan dibandingkan dengan konsumsi masyarakat. Akibatnya akan terjadi kekeringan akibat penggunaan air yang berlebihan.
Untuk itu, pada tahun 2003 Departemen Kehutanan merekomendasikan bahwa Tahura Poboya tidak termasuk kawasan untuk industri tambang. Pada tanggal 31 Mei 1999, kepala BKSDA Sulawesi Tengah, juga menyampaikan laporan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT Citra Palu Mineral karena telah melakukan pengeboran di kawasan lindung Tahura (Seputar Rakyat, 2003).
Penolakan juga pernah dilakukan oleh Prof. Aminudin Ponulele saat menjabat sebagai Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah yang tidak memberikan rekomendasi pertambangan di Poboya karena akan merusak lingkungan. Sikap penentangan keras Prof. Aminudin sudah disampaikan sejak dia menjabat sebagai Ketua DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah.
Di samping itu, ada beberapa tokoh dan kelompok masyarakat membentuk gerakan penolakan PT CPM. Ada Aliansi Kumbono sebagai alat pemersatu masyarakat di Kelurahan Poboya, Lasoani, Kawatuna, Vatutela, dan Parigi. Selain itu, Barisan Pemuda Tara (BATARA) juga melakukan hal yang sama untuk mengusir PT CPM dari Bumi Tadulako. Pada hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan (26/08/2011), gerakan Aliansi Masyarakat Sulawesi Tengah juga turun memperingati hari Al-Quds Internasional sebagai bentuk protes terhadap segala penjajahan di Dunia, termasuk penolakan terhadap company PT Citra Palu Mineral.
Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat seharusnya sudah menjadi pertimbangan kuat bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan atau rekomendasi kepada pemerintah pusat agar segera mencabut izin kontrak karya. Akan tetapi, kebijakan pemerintah dengan dukungan aparat kepolisian (Polda Sulteng) malah mengizinkan perusahaan tersebut masuk melakukan eksplorasi. Tidak hanya pemerintah, nyayian para ahli lingkungan (akademisi) juga seolah sudah tumpul gagasannya karena memihak kepada perusahaan.
Prof. Dr. Mappiratu dan Dr. Sulbadana telah menawarkan metode sianida dalam mengatasi permasaalahan pertambangan Poboya, dengan mengatakan bahwa metode sianida adalah metode pengolahan emas yang ramah lingkungan (Radar Sulteng, 9 September 2011). Tetapi, benarkah metode sianida adalah metode yang ramah lingkungan? Pertanyaan ini akan terjawab ketika mengungkap beberapa fakta penggunaan sianida di beberapa lokasi tambang sebagai acuan.
Sejarah penggunaan sianida dalam pengelolaan tambang emas tidak pernah terbukti ramah lingkungan. Selama ini, penggunaan bahan beracun tersebut (sianida) sudah menimbulkan bencana bagi pengelolaan pertambangan di belahan dunia. Di Amerika Serikat, Romania, Argentina, dan Kanada, sudah lama melarang penggunaan sianida. Provinsi-provinsi yang ada di Argentina sejak April 2003, berinisiatif mengeluarkan kebijakan berupa peraturan (UU) yang melarang pertambangan terbuka dan penggunaan sianida (http://www.jatam.org/).
Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Silvanus Maxwel Simange, mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010, kesimpulan tesisnya menyatakan bahwa penggunaan mercury dan sianida dalam aktivitas penambangan emas di Teluk Kao Kabupaten Halmahera Utara dapat merusak habitat dan kontaminasi/keracunan serta kematian berbagai jenis biota yang hidup di sekitar kawasan tersebut, termasuk ikan dan manusia. (Silvanus Maxwel Simange, 2010).
Silvanus juga mengungkapkan bahwa biota laut seperti ikan kakap, belanak, udang putih dan hati ikan biji nangka yang ada di sekitar perairan Teluk Kao berada pada tingkat yang kritis dan sangat membahayakan bila dikonsumsi dengan pengolahan yang kurang baik.
Di Kecamatan Malifut, Maluku Utara, warga lingkar tambang sudah terkena penyakit akibat pengoalahan tambang. Selain itu terjadi pencemaran lingkungan, di antaranya limbah yang sudah mencemari sungai serta kubangan yang sudah melampaui batas.
Di Romania pada Januari 2000, pernah runtuh bendungan limbah di tambang emas Baia Mare yang melepaskan lebih dari 100 ribu ton air limbah yang mengandung sianida menuju sungai Tisza dan Danube. Bahan beracun tersebut membunuh 1.240 ton ikan dan mencemari air minum 2,5 juta orang di sana. Untuk menghindari tanggung jawab, Esmeralda Exploration menyatakan bangkrut dan masyarakat di sana menangung bencana tersebut (Sitti Maimunah, 2007).
Pada tahun 2006, tambang emas Bogoso Gold Limited juga menggunakan sianida mencemari sungai Ajoo Steam, yang mengalir ke sungai Apepre dan sungai Ankobra yang mengakibatkan kematian pada ikan-ikan dan lobster. Sekitar 30 orang yang meminum air dan makan ikan tersebut terkena penyakit.
Amerika Serikat dan Kanada sudah lama melarang penggunaan sianida, karena pada tahun 1992, tambang Emas Galactic Resources melakukan hal yang sama dan menyatakan bangkrut dan meninggalkan 3.300 hektar kawasan tambang mengandung sianida yang mencemari dan merusak sekitar 25 Km kawasan sungai Galactic (BorneoNews, Suara Rakyat Kalimantan: 03 Mei 2011)
Alih-alih melarang penggunaan sianida, di Indonesia-perusahaan tambang dan pemerintah malah membohongi publik dengan melegalkan penggunaan sianida sebagai metode yang ramah lingkungan. Modus yang ada di Poboya adalah hasil setingan elit pengusaha dan penguasa yang melakukan kebohongan di masyarakat.
Berbagai fakta di atas, seharusnya menjadi cermin untuk melindungi kelestarian Tahura Poboya dan keselamatan masyarakat, terutama tanggung jawab Wali Kota Palu dan Gubernur Sulawesi Tengah sebagai pihak yang menentukan kebijakan di daerah ini. Begitu pula para akademisi, sebagai ikon intelektual, harus menunjukan sikap transparan dan bermoril dalam melakukan penelitian demi keselamatan masyarakat.
Tentunya, besar harapan kepada semua pihak untuk bersatu membentuk gerakan persatuan untuk menolak eksplorasi PT Citra Palu Mineral, sebagai bukti kepedulian kita terhadap keselamatan manusia dan alam.

selengkapnya
Sabtu, 29 Januari 2011

MEWUJUDKAN PEMILUKADA YANG DAMAI

Ruslan Husen

Oleh : Ruslan Husen
(Penulis Adalah Pengurus PKPMK Universitas Tadulako)

Jika diamati secara seksama judul tulisan ini hanyalah merupakan harapan dan cita-cita untuk konteks ke Indonesiaan, karena antara idealiatas dengan realitas (harapan dengan kenyataan) sungguh sangat berbeda. Tapi untuk tidak mengurangi semangat dan tidak muluk-muluk, tulisan ini memcoba meramaikan pemikiran untuk pemecahan solusi kenegaraan khususnya demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada).

Kampanye konstestan Pemilukada sudah berlangsung sedemikian gencarnya seakan tidak kenal lelah guna mencari simpatik publik secara luas, walaupun pengumuman resmi kampanye dari KPUD belum dilakukan. Kampanye disini boleh dikata melakukan curi star kampanye, yang kegiatannya telah di bungkus sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat seperti, halal bihalal, pertandingan sepak bola, peresmian gedung, pelantikan pengurus, sumbangan pembangunan fasilitas umum dan berbagai macam agenda lainnya yang tujuannya adalah mencari dan mendapatkan simpati dari masyarakat.

Fedomena tersebut jika di lihat dari sisi peserta kontestan Pemilukada, sudah menjadi kebiasaan yang dianggap sesuatu yang normal dan semua konstenstan telah melakukannya, walaupun kampanye secara resmi belum diumumkan dan diperbolehkan oleh KPUD, sehingga masing-masing konstestan saling berlomba-lomba mencari simpati publik. Pembiasaan politik ini-pun dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar untuk mencari perhatian darinya. Bahkan masyarakat pun dengan sangat antusiasnya mengikuti kegiatan-kegiatan seperti ini, yang jelas mereka beranggapan ada keuntungan materi yang di dapatkannya.


Begitu pula ketika kampanye secara resmi boleh dilakukan, simak saja kejadiaan-kejadian yang terjadi dari akibat kampanye konstestan tersebut, seperti pelemparan sekretariat pemenangan konstestan tertentu, perkelahian massa pendukung sampai pembunuhan. Disini mulai berlaku hukum rimba dimana yang kuat akan memangsa yang lemah demi kepentingan dan kelompoknya. Semangat emosional tentang ras, agama, daerah, golongan, satu tempat kerja menjadi pertimbangan utama untuk melakukan dukungan, tanpa melihat isi konstestan memiliki kapasitas atau tidak untuk memimpin.
Peristiwa berdarah-darah dan pengrusakan fasilitas tertentu terus saja terjadi sampai pengumuman pemenang hasil Pemilukada dilakukan secara resmi oleh KPUD. Motifnya bisa macam-macam, ada karena dipicu kekalahan, ketidak-puasan atau kecurangan salah satu pihak konstestan Pemilukada terhadap yang lainnya. Tentunya yang lagi-lagi menjadi korban utama adalah masyarakat secara umum.

Persoalan yang paling mendasar kenapa tindak kekerasan dalam setiap Pemilukada maupun dalam kehidupan sehari-hari terus saja terjadi adalah karena keahlian dalam berdemokrasi kita belum melembaga sampai ditingkatan paling bawah lapisan masyarakat (akar rumput). Pengetahuan, pemahaman dan perilaku demokrasi cenderung masih hanya dimiliki oleh sebagaian kecil warga saja. Meskipun dalam penyelenggaraan bernegara kita berdasar asas demokrasi, namun masih sebatas pada formalisme, yaitu dengan tersedianya istitusi demokrasi politik seperti partai politik, lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif dan lain-lain. Begitu pula demokrasi dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat belum melekat dengan baik dan masih memetingkan dirinya sendiri.

Persyaratan-persyaratan baik yang bersifat normatif maupun empiris harus terpenuhi dalam rangka mewujudkan Pemilukada yang damai. Demokrasi yang hanya di pahami oleh elit politik cenderung akan mewujudkan anarki massa, sedangkan demokrasi yang hanya dipahami dikalangan bawah tidak akan mewujudkan ruang artikulasi luas di kalangan publik.

Ada empat persyaratan untuk mewujudkan harapan tentang Pemilukada yang damai, yaitu pertama, nilai-nilai demokrasi yang menjadi acuan utama. Harus kita akui bahwa paham demokrasi sesungguhnya tidak berasal dari Indonesia, demokrasi ini berasal dari pencerahan politik yang menjelma dalam revolusi Prancis yang kemudian menjadi nilai universal dan mengglobal. Dalam demokrasi pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat dihasilkan melalui mekanisme kebebasan berpendapat baik oleh individu, kelompok maupun partai. Pembentukan kekuasaan tersebut melalui pertandingan dan yang memperoleh suara yang terbanyak akan lahir sebagai pemenang dan mendapat legitimasi dai publik secara luas. Sementara yang kalah bersedia bekerja sama atau menjadi oposisi untuk mengentrol jalannya pemerintahan.

Kedua, kesadaran berdemokrasi yang ada disetiap benak individu. Nilai-nilai demokrasi sudah lama berkembang secara baik, tetapi kesadaran berdemokrasi perindividu belum merata di masyarakat, kalau-pun ada hanya dimiliki oleh sebagaian kecil saja. Ini dapat dilihat dari kampanye dan pengumuman hasil Pemilukada yang cenderung menimbulkan ketidakpuasan salah satu pihak dan menempuh jalan anarkis sebagai akibat politik yang identik dengan pertumpahan darah. Kalau tindak kekerasan dan mematikan potensi lawan masih tetap ada, maka kesadaran berdemokrasi hanya kesadaran semu dan lahirlah secara terus-menerus yang namanya kemunafikan politik, mengaku demokratis tetapi otoriter.

Ketika, perilaku obyektif individual dan sosial. Nilai-nilai dan wacana demokrasi sudah ada di masyarakat, tetapi belum dapat diaktualkan secara baik dan konkret. Demokrasi masih dipahami sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi, tetapi tidak pernah dipahami mendengar aspirasi dan pendapat lawan politik. Sehingga yang terjadi adalah melembaganya sifat egosime untuk menang tanpa perduli dengan keadaan pihak lawan. Kalau paradigma ini masih tetap ada, maka kebencian antar kelompok yang berbeda akan terus ada, dan pendidikan politik tidak akan berjalan dengan baik.

Keempat, keberadaan institusi-institusi sosial-politik yang mendorong demokrasi. Pendidikan politik untuk demokrasi harus tetap dilakukan lewat partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan maupun lembaga-lembaga formal lainnya, tetapi juga harus dipraktekkan oleh elit politik secara langsung. Sebab prilaku para elit politik akan cenderung ditiru oleh masyarakat luas terutama oleh pendukungnya. Di samping itu perilaku untuk siap kalah juga harus dimiliki, dengan bersedia bekerja sama atau melakukan oposisi terhadap pemerintahan yang akan berkuasa. Dari berbagai kasus yang telah terjadi utamanya di daerah, yang menang akan mengejek yang kalah, sehingga yang kalah akan berusaha semaksimal mungkin untuk juga bisa menang, maka tidak heran jika sering terjadi perkelahian massa pendukung.
Berbagai tindak kekerasan yang terjadi dalam Pemilukada, mulai dari saat kampanye, pengumuman pemenang dan pasca pengumuman akan terus mewarnai hari-hari kita, apabila kemampuan dan keahlian berdemokrasi kita masih rendah. Untuk dapat mewujudkan Pemilukada yang damai ke depan, maka setiap individu, kelompok dan institusi-institusi politik harus memiliki kesadaran dan keahlian politik yang handal dan terpuji. Kalau ini tidak ada, maka jangan bermimpi bahwa Pemilukada yang dilaksanakan akan damai dan yang terjadi pasti akan berujung pada kerusakan dan kekacauan.

selengkapnya

Silaturahmi HMI MPO dengan Kapolda Sulteng
Pertemuan dengan Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol Dewa Parsana diawali dengan perkenalan rombongan dipimpin oleh Sekertaris Umum HMI Cabang Palu. Pembicaraan selanjutnya dilanjutkan oleh Ketua Umum HMI Cabang Palu, dengan memberikan ucapan selamat kepada Kapolda yang baru menjabat sekitar 1 bulan.
Menurutnya, kunjungan Audiensi tersebut untuk mempererat hubungan Silaturrahim kaitannya dengan peran organisasi kepemudaan khususnya HMI dalam upaya menciptakan masyarakat berbudaya dan berkeadilan. Sekaligus menyampaikan agenda HMI yaitu Intemediate Training (LK II) HMI Se Indonesia Bagian Utara yang akan dimulai pada hari sabtu (5-16/02/11) dimana pada kegiatan itu turut Kapolda sebagai salah satu pemateri dalam kegiatan tersebut.

Dialog berlangsung semakin serius saat Mantan ketua HMI Cabang Palu periode 2009/2010 Irwan B Lapa mendiskusikan tentang kondisi kekinian beberapa kasus hukum di beberapa daerah dalam propinsi Sulawesi Tengah, diantaranya kasus pelanggaran HAM di Buol, kasus lingkungan tambang Poboya dan kekerasan antar warga yang terjadi di daerah Pasar Masomba Palu beberapa waktu yang lalu.


Sementara itu Sekretaris BADKO HMI INBAGTAR, Ruslan Husein menyampaikan beberapa hal terkait paradigma gerakan HMI saat ini. Diantaranya beliau menyampaikan bahwa HMI sebagai salah satu lembaga eksternal kampus tertua di Indonesia, saat ini gerakannya lebih bersifat "Kritis Konstruktif". Artinya HMI secara kelembagaan akan mendukung jika kebijakan-kebijakan pelaksana kekuasaan negara termasuk kepolisian berjalan sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan. Namun HMI juga akan mengkritik jika ada kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, sekaligus memberikan gagasan-gagasan konkrit dan solutif.
Selain itu Ruslan juga mencoba menggagas upaya kerjasama kemitraan antara HMI dan Kapolda Sulteng dalam melaksanakan program-program pemberdayaan bagi masyarakat.

Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol Dewa Parsana secara pribadi dan institusi sangat senang menerima kunjungan HMI Cabang Palu ini dan mengapresiasi positif beberapa kritik dan saran yang telah disampaikan. Dari itu Kapolda berharap agar ini memberi dampak postif terhadap pesta demokrasi Pemilukada yang akan di gelar 6 April 2011, untuk masyarakat Sulteng senantiasa menjaga perdamaian dan keamanan.
Lebih lanjut Kapolda menjelaskan penanganan kasus-kasus konflik di Sulawesi Tengah, diantaranya Kasus kekerasan di Buol, kasus lingkungan di Tambang Poboya dan Kasus etnis di Masomba serta kasus SMS yang meresahkan warga.
Selanjutnya Kapolda menjelaskan mekanisme PROTAP 01 terkait dengan penanganan unjuk rasa, yang banyak belum dipahami oleh masyarakat umum. Berikutnya Kapolda mengapresiasi upaya kemitraan antara HMI dan Institusi Kepolisian dalam program-program non Hukum, diantaranya tawaran HMI dalam penanganan masyarakat pasca konflik dan pengembangan SDM serta pembentukan kelompok DAI HMI untuk kegiatan tertentu melalui dakwah, ini ada hubungannya dengan penataan kembali hubungan komunikasi POLDA dengan masyarakat dalam waktu dekat termasuk HMI sendiri, paparnya.
Mahadin Hamran saat berbincang dengan Kapolda Sulteng Brigjen Pol Dewa Parsana

selengkapnya