Ruslan Husen
Oleh : Ruslan Husen (Universitas Tadulako, Palu)

A. Latar Belakang
Konsep gugatan perwakilan masyarakat (class action) pada mulanya hanya dikenal di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law system, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Untuk pertama kali gugatan Class Action diatur dalam Supreme Court Judicature Act pada tahun 1873 di Inggris. Kemudian, konsep tersebut diadopsi oleh Amerika Serikat dan dituangkan dalam United State Federal Rule of Civil Procedure pada tahun 1938. Pada tahun 1966 dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 23 dari US Federal Rule of Civil Procedure tersebut, khususnya yang mengatur tentang prosedur gugatan class action.
Istilah gugatan Class Action mulai dikenal dalam hukum acara perdata di Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pengajuan Hak Gugat Perwakilan Masyarakat (Class Action).
Gugatan Class Action merupakan hak prosedural dalam bentuk gugatan oleh kelompok masyarakat melalui perwakilannya, atas dasar kesamaan masalah, fakta hukum, dan kesamaan kepentingan, untuk memperoleh ganti rugi dan/atau tindakan tertentu dari (para) tergugat melalui proses peradilan perdata.


Prosedur gugatan class action sebagai suatu cara untuk memudahkan para pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Prosedur ini sejalan dengan prinsip peradilan yang murah, praktis, cepat dan efisien sebagaimana di atur dalam Undang-Undang No.14 tahun 1970 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No.35 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian untuk penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, maka Undang-Undang No.35 tahun 1999 kembali diubah dengan Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Praktek gugatan Class Action di Pengadilan semakin dikenal ketika seorang Pengacara R.O. Tambunan pernah melakukan gugatan Class Action terhadap pabrik rokok Bentoel Remaja ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan mengatasnamakan diri sendiri sebagai orang tua dan mewakili seluruh remaja Indonesia, dengan dalil bahwa iklan rokok Bentoel Remaja telah meracuni kalangan remaja, rokok telah menimbulkan gangguan kesehatan dan merusak masa depan generasi muda Indonesia.
Selain itu, seorang Muhtar Pakpahan yang terjangkit penyakit demam berdarah dengan mengatasnamakan seluruh warga Jakarta melakukan gugatan Class Action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta yang dianggap tidak menjalankan kewajibannya untuk menjaga kebersihan lingkungan Jakarta, sehingga muncul penyakit demam berdarah dan menimbulkan korban seperti yang dialaminya sendiri maupun warga Jakarta yang lain. Contoh lain dari gugatan class action, misalnya gugatan Abu Bakar Ba'asyir yang menuntut agar Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri dibubarkan. Juga ada gugatan elemen masyarakat terhadap Pemda Jakarta terkait banjir Jakarta.
Namun demikian, dalam praktik peradilan yang berlangsung selama ini ternyata tidak satu pun dari gugatan Class Action di atas dikabulkan oleh pengadilan, dengan alasan dasar hukum gugatan Class Action belum diatur sebagai hak prosedural kelompok masyarakat dalam sistem hukum perdata maupun hukum acara perdata di Indonesia. Atau dengan kata lain dari berbagai gugatan class action itu, tidak banyak yang dimenangkan oleh masyarakat. Dari yang sedikit itu tercatat, misalnya, dimenangkannya gugatan yang diajukan masyarakat Mandalawangi, Garut, yang menjadi korban longsor. Pihak Menteri Kehutanan dan Perhutani III selaku tergugat diharuskan membayar ganti rugi sebesar Rp 30 milyar.
Alasan yang sering menjadi argumentasi majelis Hakim ketika menggugurkan gugatan class action selama ini adalah "Gugatan tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai class action karena perwakilannya tidak cukup dan materi yang disampaikan cukup subjektif tidak mengandung unsur-unsur perdata”. Hal itu pula yang sering menjadi bantahan/ pembelaan para tergugat dalam proses pengadilan. Disamping itu, praktisi hukum kadang memiliki pemahaman yang tidak sama tentang teknis dari penerapan prosedur class action ini.
Berdasarkan uraian tersebut, tergambar banyak gugatan class action yang diajukan tidak dikabulkan Pengadilan atau tidak diterima N.O (Niet Onvankellijk verklaard). Walaupun secara nyata/materil telah terjadi dampak yang dialami oleh para Penggugat. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh “kategori perwakilan kelompok” yang tidak terpenuhi atau masih kabur. Bahwa ada syarat-syarat perwakilan kelompok yang harus dipenuhi, baik dari individu dalam kelompok itu sendiri maupun organisasi masyarakat yang mengajukan gugatan class action.
Maka dari itu, Penulis tertarik melakukan penelitian lebih dalam lagi dengan mengangkat judul Kedudukan Hukum Perwakilan Kelompok dalam Gugatan Class Action di Indonesia. Judul ini dipilih karena bahasan tentang gugatan class action masih terbilang baru, dan merupakan sebuah terobosan baru dalam sistem hukum perdata Indonesia.

B. Rumusan Masala
1. Bagamana kedudukan hukum perwakilan kelompok dalam gugatan class action di Indonesia?
2. Bagaimana permasalahan prosedur gugatan class action di dalam proses Pengadilan?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kedudukan hukum perwakilan kelompok dalam gugatan class action di Indonesia.
2. Untuk mengetahui permasalahan prosedur gugatan class action di dalam proses Pengadilan.

D.Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dalam penelitian ini dilihat dari dua sisi yaitu sisi akademis dan sisi praktis:
1. Dari Sisi Akademis
Dari sisi akademis kegunaan penelitian di samping berguna bagi pengembangan ilmu penulis juga dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti yang akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-peneliti yang akan datang terutama terletak pada sisi ketersediaan data awal, karakteristik termasuk masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis yang fokus.
2. Dari Sisi Praktis
Secara praktis penelitian ini berguna sebagai informasi dan sekaligus solusi yang ditawarkan kepada pihak yang berkepentingan. Baik bagi masyarakat, mahasiswa, pengambil kebijakan serta elemen sosial lainnya.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian yuridis normatif. Menggunakan pendekatan yuridis normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norma). Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value), peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum, system hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.
Penelitian yuridis normatif itu dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (liberary research), yaitu dengan cara menelusuri bahan-bahan hukum yang berkenaan dengan pokok permasalahan. Bahan-bahan hukum itu terdiri atas :
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide). Bahan ini mencakup: buku, kertas kerja konperensi, lokakarya, seminar, simposium, dan seterusnya, laporan penelitian, laporan teknis, majalah, disertasi atau tesis dan paten.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, yang antara lain mencakup: abstrak, indeks, bibliografi, penerbitan pemerintah, dan bahan acuan lainnya.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup (1) bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum. Contohnya, abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum; dan (2) bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, politik, filsafat yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.

F. Kerangka Teori
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui gugatan perdata ke pengadilan negeri (litigasi) dalam sistem hukum di Indonesia pada dasarnya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (Herziene Indonesisch Reglement/HIR, atau Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Stb. 1848 No.16 dan Stb. 1941 No.44) untuk daerah Jawa dan Madura, sedangkan diluar itu berlaku Rechtsreglement Buitengewesten/Rbg (Regelemen Daerah Seberang (Stb. 1927 No. 227) untuk daerah luar Jawa dan Madura.
Tetapi, sejak tahun 1997 dalam sistem hukum acara perdata di Indonesia diatur satu mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan yang dikenal sebagai gugatan perwakilan kelompok masyarakat (class action). Gugatan class action merupakan sebuah terobosan baru dalam sistem hukum perdata Indonesia. Dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) dinyatakan seperti berikut :
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.

Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UULH menyatakan sebagai berikut:
Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Berdasarkan rumusan Pasal 37 ayat (1) UULH di atas dapat diartikan bahwa gugatan class action dalam kasus lingkungan hidup merupakan hak prosedural dari kelompok masyarakat (class members) dalam bentuk gugatan ke pengadilan melalui perwakilan kelompoknya (class representative), atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan untuk memperoleh ganti rugi dan/atau tindakan tertentu akibat dari perbuatan pecemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan tergugat.
Lebih lanjut, dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) diatur pula mengenai gugatan class action dalam kaitan dengan kasus perusakan hutan. Dalam Pasal 71 ayat (1) UUK dinyatakan :
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga diatur mengenai hak masyarakat untuk mengajukan gugatan class action untuk kasus pelanggaran pelaku usaha terhadap konsumen. Dalam Pasal 46 ayat (1) dinyatakan :
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, …… dst; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi …dst.

Penjelasan Pasal 46 ayat (1) huruf b seperti berikut:
Undang-Undang ini mengakui gugatan kelompok atau class actions. Gugatan kelompok harus diajukan oleh konsumen yang benarbenar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.

Secara teoritis, makna dan tujuan pokok dari gugatan class action pada dasarnya sebagai berikut . Pertama, Gugatan class action bermakna untuk menghindari adanya gugatan-gugatan individual yang bersifat pengulangan (repition) terhadap permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang sama dari sekelompok orang yang menderita kerugian karena kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ini berarti gugatan yang diajukan sekelompok orang melalui gugatan class action akan lebih bersifat ekonomis (judicial economic) jika dibanding setiap orang mengajukan gugatan sendiri-sendiri ke pengadilan. Selain itu, waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengajukan gugatan class action akan menjadi lebih efisien (judicial cost efficiency) apabila dibandingkan dengan mengajukan gugatan secara individual dari masing-masing anggota kelompok.
Kedua, Gugatan class action memberi akses pada keadilan (access to justice) karena beban yang ditanggung bersama untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dalam rangka memperjuangkan hak kelompok masyarakat atas keadilan memperoleh ganti kerugian dan/ atau melakukan tindakan tertentu menjadi lebih diperhatikan dan diprioritaskan penanganannya oleh pengadilan. Sebab biasanya gugatan class action akan memperoleh perhatian besar dari masyarakat, sehingga Pengadilan akan memperioritasnya kasus ini dari kasus perdata atau pidana biasa lannya.
Ketiga, Gugatan class action juga mempunyai makna penting dalam upaya pendidikan hukum (legal education) dalam masyarakat. Di satu sisi gugatan class action dapat mendorong perubahan sikap kelompok masyarakat (class members) untuk memperoleh keadilan dan lebih berani menuntut haknya melalui jalur pengadilan. Di sisi lain gugatan class action mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan hak dan kepentingan masyarakat luas. Keempat, Gugatan class action juga dapat menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi siapa pun yang pernah merugikan hak dan kepentingan kelompok orang dalam masyarakat.

Menurut Mas Achmad Santoso, gugatan class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan (injunction) atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class representative) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Untuk menjaga makna dan tujuan dari pengajuan gugatan class action seperti diuraikan di atas, maka setiap gugatan class action harus memenuhi persyaratan seperti berikut : Pertama, adanya sejumlah/sekelompok orang (numerousity of class members) dan beberapa orang dari mereka yang diberi kuasa mewakili dirinya sendiri maupun anggota kelompoknya (class representative) untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Kedua, adanya kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan kepentingan dari semua anggota kelompok (commonality of class members), baik yang memberi kuasa maupun yang diberi kuasa, dalam pengajuan gugatan perdata ke pengadilan. Ketiga, adanya kesamaan jenis tuntutan (typicality) ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu dari semua anggota kelompok, yang diwakili maupun yang mewakili kelompoknya. Keempat, adanya kelayakan karakter dari para wakil kelompok (class representative) untuk tampil secara jujur, adil, bertanggungjawab dan mampu melindungi kepentingan semua anggota kelompoknya (class members) dalam persidangan di pengadilan (adequacy of representation).
Berdasarkan uraian mengenai pengertian, makna dan tujuan pokok gugatan class action seperti di atas dapat diketahui bahwa gugatan class action pada dasarnya merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa perdata melalui jalur pengadilan (in court settlement) oleh sekelompok orang dengan memberi kuasa kepada satu atau lebih orang (yang berasal dari anggota kelompoknya) untuk mewakili mengajukan gugatan ke pengadilan.
Jika dikaitkan dengan ketentuan mengenai hak gugat perwakilan masyarakat (class action) dalam Pasal 37 ayat (1) UULH; Pasal 71 ayat (1) UUK; dan Pasal 46 UUPK, maka terdapat perluasan pengertian, makna dan tujuan dari gugatan class action. Sebagaimana dikemukakan I Nyoman Nurjaya, bahwa terdapat perluasan pengertian, makna dan tujuan gugatan class action yang ditemukan mengenai muatan haknya dan subyek hukumnya. Mengenai muatan haknya, hak kelompok masyarakat ternyata tidak hanya menyangkut pengajuan gugatan perdata ke pengadilan melalui perwakilannya, tetapi juga mengenai hak untuk melaporkan ke penegak hukum (pidana) mengenai pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (dalam UULH), atau mengenai kerusakan hutan (dalam UUK) yang merugikan kepentingan masyarakat.
Mengenai subyek hukumnya I Nyoman Nurjaya melanjutkan, subyek hukum yang mempunyai hak mengajukan gugatan class action dalam UULH dan UUK ternyata tidak hanya kelompok masyarakat melalui perwakilannya, tetapi juga dapat dilakukan melalui representative standing oleh:
1. Instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup mewakili kepentingan masyarakat (dalam UULH); atau
2. Pemerintah dan/atau Instansi terkait mewakili sejumlah konsumen yang menjadi korban pelanggaran pelaku usaha (dalam UUPK).
Selain itu, dalam konteks instrumen hukum yang diperlukan untuk mengajukan gugatan class action ternyata masih belum cukup dengan ketentuan pasal yang diatur dalam undang-undang, karena secara eksplisit dinyatakan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sedangkan, sejauh ini PP yang dimaksudkan untuk mengoperasional prosedur gugatan class action belum diwujudkan oleh pemerintah. Hal ini mempunyai implikasi yang signifikan dalam hubungan dengan implementasi dan kinerja hakim ketika memeriksa gugatan class action di pengadilan. Sejak tahun 2002 dasar hukum yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan Class Action sejauh ini bukan diatur dalam Peraturan Pemerintah, tetapi dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tatacara Pengajuan Hak Gugat Perwakilan Masyarakat (Class Action).
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 mempunyai arti penting, karena akan memberikan kepastian penanganan terhadap gugatan class action. Apalagi selama ini gugatan class action bisa diterima atau ditolak pengadilan dengan berbagai pertimbangan. Bahkan tidak sedikit Hakim yang menanyakan surat kuasa dan dipenuhinya syarat perwakilan kelompok dalam kasus gugatan class action.

Catatan Kaki:
Mas Achmad Santosa, Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL, PIAC, dan YLBHI, Jakarta, 1999, hlm 99.
I Nyoman Nurjaya, Gugatan Perwakilan Kelompok Masyarakat (Class Action), 2008, Sumber: http://manifestoria.wordpress.com/2008/01/03/gugatan-perwakilan-kelompok-masyarakat-class-action/ (2 Februari 2010)
Anonim, Tak Mudah Memenangkan Class Action, 2007, Sumber: http://www.berpolitik.com/ static/internal/2007/09/news_7604.html (3 Mei 2010).
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm 29.
Soerjono Soekanto dan Mamoedji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 70.
Susanti Adi Nugroho, Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok, Mahkamah Agung, Cetakan I, Jakarta, 2002, hlm 31.
Mas Ahmad Santosa, dkk, Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Action), Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), bekerja sama Public Interest Advocacy Centre (PIAC), Yasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Australia Indonesia Institute (AAI), Cetakan I, Jakarta, 1999, hlm 13-14.
Mas Ahmad Santosa dalam Sukarmi, Putusan KPPU Sebagai Dasar Gugatan Perwakilan, Jurnal Persaingan Usaha edisi 2 tahun 2009, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Jakarta, 2009, hlm 145.
Mas Ahmad Santosa dan Wiwik Awiati dalam Rudi Doho, Tinjauan Yuridis Gugatan Class Action Dalam Perundang-Undangan di Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, 2005, hlm 8.

0 komentar:

Posting Komentar