Oleh : Ruslan Husen (Universitas Tadulako, Palu)


A. Latar Belakang
Sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang sangat penting dan mendasar. Perubahan tersebut merupakan hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang telah dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999 yang merupakan hasil amandemen pertama hingga 2002 (amandemen ke-IV). Perubahan tersebut dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan check and balances yang setara dan seimbang di antara cabang-cabang kekuasaan negara, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.
Seiring bergulirnya waktu, rakyat Indonesia menghendaki adanya reformasi. Isu amandemen UUD 1945 yang dirasa penuh dengan kekurangan menjelma menjadi isu sentral dan sarat dengan krusialisme ditengah pengaruh era orde baru. Dengan dalih perlunya restrukturisasi perkembangan dan tuntutan perubahan dari masyarakat, maka upaya mewujudkan konstitusi yang dinamis dan responsif dengan perkembangan ketatanegaraan yang dipengaruhi dari luar maupun tuntutan dari dalam negeri maka UUD 1945 haruslah diubah.
Salah satu hasil amandemen UUD 1945 itu yang menjadi perubahan yang signifikan dalam wajah struktur ketatanegaraan Indonesia adalah pembentukan lembaga negara baru yang disebut Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah di jamin dalam konstitusi.

Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan dalam UUD 1945. Hal ini disebabkan UUD 1945 merupakan konstitusi sederhana dan perlu adanya pengaturan lebih detail guna mengantisipasi problematika ketatanegaraan yang kian hari semakin rumit dan kompleks. Hal mana telah ditegaskan oleh Nurudin Hadi sebagai berikut :
“Amandemen Konstitusi Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar melalui perubahan ketiga yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada sidang tahunan MPR tahun 2001, akhirnya menyepakati pembentukan Mahkamah Konstitusi. Sebuah lembaga baru yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh kalangan pakar hukum tata negara, mengingat eksistensinya dipandang sangat urgen dalam membangun sistem ketatanegaraan Indonesia.”

Sebagaimana diketahui bahwasanya pemilihan umum merupakan salah satu instrumen terpenting dalam kehidupan negara demokratis, dengan melakukan pergantian kekuasaan dari pihak yang satu kepada pihak lainnya yang merupakan pemegang tongkat estafet dari mandat yang diberikan oleh rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kepadanya sehingga pemilihan umum menjadi sangatlah penting dalam proses pembangunan yang berkesinambungan dengan kesejahteraan rakyat. Selain itu menurut Abdul Mukthie Fadjar, fungsi pemilihan umum juga berorientasi sebagai pranata terpenting bagi pemenuhan tiga prinsip pokok demokrasi dalam pemerintahan yang berbentuk Republik yaitu, kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan dan pergantian pemerintahan secara teratur.
Dilematis yang diketemukan dalam praktek ketatanegaraan pada proses pemilu sebelum amandemen ialah masih banyaknya sengketa yang tidak terselesaikan dengan baik disebabkan belum adanya lembaga otoritas yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menjadi penengah dan pemutus penyelesaian pemilihan umum. Sehingga cara-cara penyelesaiannya dilaksanakan dengan cara politis. Sebab, jika penyesaian ketatanegaraan lebih diselesaikan dengan cara politik hal mana akan berdampak buruk terhadap mekanisme hubungan kelembagaan negara kedepannya.
Selain itu, perbedaan interpretatif (tafsiran) antara pihak eksekutif dengan legislatif turut menyumbangkan problematika yang sulit dipecahkan sampai dilakukannya amandemen UUD 1945. Oleh karena titik sentral pembuatan Undang-Undang yang menjadi jalan keluar biasanya sarat dengan kepentingan politik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi diletakkan sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, Memutus pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditegaskan kembali kewenangan Mahkamah Konstitusi disebutkan sebagai berikut :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Sejalan dengan amandemen UUD 1945, maka pemilihan umum Presiden diatur dalam Konstitusi UUD 1945 pada amandemen ketiga, tepatnya dalam pada pasal 22E ayat (1) sampai dengan ayat (6). Dimana pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung demi penegasan sistem Presidensial sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Hal tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menyatakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Kaitannya dengan perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, disebutkan :
“Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh Pasangan Calon kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU”

Selanjutnya dalam Pasal 201 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008, kaitannya dengan perselisihan hasil pemilihan umum tersebut:
“Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi”

Sebagaimana diketahui dalam Pasal 24C ayat (1) Mahkamah Konstitusi yang setiap putusan dalam sengketa konstitusional pada semua kewenangan yang diberikan kepadanya akan berimplikasi pada putusan yang bersifat final dengan kedudukan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir. Dalam artian, bahwa putusan yang diucapkan oleh hakim konstitusi pada rapat pleno memperoleh kekuatan hukum tetap dengan persidangan yang terbuka untuk umum dapat mempunyai daya berlaku dan mengikat umum.
Dengan kata lain tidak akan terbuka kemungkinan untuk menempuh upaya hukum seperti layaknya pada putusan badan peradilan dalam lingkungan Mahkamah Agung, yang diberikan untuk hal tersebut apabila pihak yang memohonkan sengketanya diputus pada peradilan tingkat pertama dikalahkan ataupun tidak dikabulkannya apa yang dimohonkan untuk diputus.
Begitu pula pada proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak membuka ruang bagi calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menempuh upaya hukum setelah Putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan. Dengan demikian akan terjadi kepastian hukum yang tegas guna menciptakan rasa keamanan dan ketentraman dalam sistem demokrasi Indonesia. Sehingga dengan konteks demikian, bagi seseorang Calon Presiden/Wakil Presiden wajib mematuhi dan menerima hasil dari pemeriksaan Mahkamah Konstitusi yang diputus dalam sidang yang dihadiri oleh 9 Majelis Hakim Konstitusi atau sering disebut sebagai rapat pleno.
Sehingga proses hukum dalam Pasal 24C ayat (1) jo Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dalam frasa “final” dalam penamaan putusan Mahkamah Konstitusi seringkali dijadikan sebagai salah satu dari berbagai karakteristik Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Adanya perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada perhelatan pesta demokrasi pada tahun 2009 menguji tugas dari Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Dalam perselisihan tersebut Pasangan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo mengajukan keberatan terhadap hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 yang telah ditetapkan KPU ke Mahkamah Konstitusi, masing-masing dengan perkara nomor 108/PHPU.B-VII/2009 dan 109/PHPU.B-VII/2009. Isi keberatan yang diajukan kedua pasangan antara lain sebagai berikut:
1. Kekacauan masalah penyusunan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT)
2. Regrouping dan/atau pengurangan jumlah TPS
3. Adanya kerjasama atau bantuan IFES
4. Adanya spanduk buatan KPU mengenai tata cara pencontrengan
5. Beredarnya formulir ilegal model “C-1 PPWP”
6. Adanya berbagai pelanggaran administratif maupun pidana
7. Adanya penambahan perolehan suara SBY-Boediono serta pengurangan suara Mega-Prabowo dan JK-Wiranto
KPU berikut KPUD seluruh Indonesia menjadi termohon dan Bawaslu serta pasangan SBY-Boediono menjadi pihak terkait. Sidang kedua perkara ini digabungkan oleh Mahkamah Konstitusi karena melihat adanya kesamaan pokok perkara. Persidangan terbuka dilaksanakan sebanyak 4 kali yaitu pada tanggal 4 Agustus 2009 (pemeriksaan perkara), 5 Agustus 2009 (mendengar keterangan termohon, pihak terkait, keterangan saksi, dan pembuktian), dan 6-7 Agustus 2009 (pembuktian). Pada tanggal 12 Agustus 2009, majelis hakim konstitusi membacakan putusannya, dimana dalam amar putusan menyatakan bahwa permohonan ditolak seluruhnya. Putusan ini diambil secara bulat oleh seluruh hakim konstitusi, tanpa dissenting opinion.
Dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi diuji tentang kredibilitas, kapasitas maupun indepedensi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang diciptakan untuk memutus sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden sebagai salah satu rezim pemilihan umum. Dari itulah Penulis tertarik untuk mengangkat Judul Skripsi “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang dapat dirumuskan masalah dalam penulisan ini adalah:
1. Apakah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2009 sudah sesuai dengan UUD 1945?
2. Bagaimana kekuatan memaksa keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat atas perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yang merupakan satu kesatuan dengan rumusan masalah adalah:
1. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2009 sudah sesuai atau tidak dengan UUD 1945.
2. Untuk mengetahui kekuatan memaksa keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat atas perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

D. Kegunaan Penelitian
1. Dari sisi akademis dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan ilmu hukum kedepannya khususnya dari segi teoritis agar dapat memberikan khasanah dalam ilmu hukum khususnya dalam melihat struktur ketatanegaraan dalam memutus perselisihan Pemilihan Presiden dan wakil presiden.
2. Untuk menambah wawasan penulis di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara.
3. Dari sisi pelaksanaan diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemegang kebijakan daerah khususnya kepada DPR dan Pemerintah untuk merumuskan kembali konsep yang sesuai dengan kondisi Negara Republik Indonesia.

E. Kerangka Teori
Perjalanan lahirnya peradilan sebagai sebuah kekuasaan yang mengimbangi kekuasaan lain dalam konsep pemisahan kekuasaan negara tidak terlepas dari konsep negara hukum. Hal ini menjadi sebuah tindakan perlindungan terhadap warga negara yang dilindungi secara konstitusionalitas dalam UUD 1945 bukan hanya mengatur tentang struktur lembaga negara saja akan tetapi yang paling utama adalah pengaturan tentang hak-hak asasi warga negara.
Secara tataran teoritis, pengertian yang mendasar dari “negara hukum” sebagaimana yang dikatakan Mochtar Kusumaatmaja adalah “kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang tunduk pada hukum”. Sedangkan menurut Muhammad Yamin :
“Indonesia ialah negara hukum (rechstaat, government of law) tempat keadilan tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintahan dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan dan melakukan sewenang-wenang.”

Konsep negara hukum tidak akan terlepas dari sistem konstitusi yang pada dasarnya akan berorientasi pada prinsip untuk membatasi kekuasaan. Kekuasaan tersebut tidak boleh diberikan pada satu orang/penguasa saja, hal mana akan terjadinya kecenderungan dengan potensial yang sangat besar untuk menyalahi ataupun menggunakan kekuasaannya tersebut demi kepentingan perseorangan, golongan maupun kelompoknya. Hal mana telah dijelaskan oleh Lord Acton “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula untuk disalahgunakan).
Lebih lanjut A. Hamid S. Attamimi mengemukakan, diabad sekarang ini tidak ada suatu negara pun yang menganggap sebagai negara modern tanpa menyebut dirinya sebagai negara hukum . Lebih lanjut Ismail Sunny menyebut pula bahwa suatu masyarakat disebut berada dibawah rule of law apabila telah memiliki syarat-syarat esensial tertentu, diantaranya adanya kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem hukum dimana hak-hak asasi manusia dan human dignity dihormati.
Sebelum amandemen UUD 1945, tidak dapat diketemukan dalam batang tubuh UUD 1945 bahwasanya Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum. Penegasan tersebut hanyalah dapat diketemukan pada penjelasan UUD 1945 bahwasanya Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat) nanti setelah adanya amandemen UUD 1945 pada tahun 1999 hingga tahun 2002 telah ada bentuk penegasan oleh MPR sebagai otoritas untuk mengubah UUD bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: Perlindungan hak asasi manusia, Pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan undang-undang dan Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: Supremacy of Law, Equality before the law dan Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah Negara harus tunduk pada hokum, Pemerintah menghormati hak-hak individu dan Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Menurut konteks historikal bilamana melihat konstitusi sebagai wadah perjuangan rakyat dalam menentang absolutisme kekuasaan Raja maka konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunya fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi telah bergeser kedudukan dan perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarkis dan oligarki.
Hampir dapat dikatakan konstitusi di semua negara tergambar keberadaan suatu pembagian kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat aturan/undang-undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/undang-undang (eksekutif/administratif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif). Gagasan dari Montesquieu mengajarkan dalam suatu negara harus ada pemisahan kekuasaan antara satu dengan kekuasaan yang lain (Separation Of Power). Pada abad 18 John Locke dalam buku karangannya “Two Treaties Of Government” membela gagasan Montesquieu dalam bentuk yang lain, yaitu Kekuasaan perundang-undangan, Kekuasaan melaksanakan sesuatu hal (eksekutif) urusan dalam negeri yang mencakup pemerintahan dan peradilan, dan Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir/unsur asing guna kepentingan negara atau warga negara, disebut sebagai kekuasaan negara “Federative power” sebagai gabungan dari berbagai orang-orang atau kelompok.
John Locke melihat nama federatif mungkin kurang tepat, yang ia pentingkan bukan nama tetapi isi kekuasaan yang olehnya dianggap berbeda sifatnya dari dua kekuasaan yang lain. Mengacu pada kalimat “Melaksanakan sesuatu hal urusan dalam negeri” kiranya Locke lebih tepat dibanding dengan Montesquieu. Urusan dalam negeri yaitu pemerintahan dan peradilan pada dasarnya adalah melaksanakan hukum atau aturan yang berlaku. Locke menyebutkan urusan pkerjaan pengadilan sebagai “pelaksanaan” undang-undang. Mengenai urusan pemerintah tidak hanya melaksanakan hukum yang berlaku, tetapi juga dalam keadaan tertentu (tak terduga) tidak termasuk dalam suatu peraturan/undang-undang. Pada sisi lain kelihatan Montesquieu lebih luas dalam memahami kata “melaksanakan”, artinya mencakup pelaksanaan hak-hak negara terhadap luar negeri yang disebutkan sebagai tindakan kekuasaan pemerintahan suatu negara.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, sejak reformasi hukum pada tahun 1998 dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali, yakni tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Hasil perubahan UUD 1945 melahrkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan (control and balances). Kesetaraan dan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum.
Dari rumusan tersebut dapat dipahami bahwa saat ini konsep kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau setara sebagai lembaga negara yang independent dan hanya dibedakan dari segi fungsi dan wewenang. Mahakamah Konstitusi juga sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya karena telah terjadi pemaknaan ulang terhadap pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dan bergesernya sistem kekuasaan yang berdasarkan pembagian kekuasaan (distribution of power) menjadi sistem yang berlandaskan pemisahan kekuasaan (separation of power).
Hal itu ditandai diletakkan pula sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat untuk presiden dan wakil presiden (eksekutif) dan Mahkamah Konstitusi sebagai sarana kontrol bagi cabang kekuasaan lainnya guna menciptakan check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pemilihan umum dalam konteks yang akan dibicarakan dalam tulisan ini ialah pemilihan umum sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 22E UUD 1945, yang diantaranya munguraikan tentang pelaksanaan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Disamping itu, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat tetap, nasional dan mandiri.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ negara (institusi) pemerintahan atau lembaga negara dalam melakukan perbuatan nyata (riil) tersebut mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan yang dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar UUD 1945 atau ketentuan hukum tata negara. Pada kewenangan delegasi harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintah yang lain. Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti wewenang, tetapi pejabat yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain bertindak atas nama pemberi mandat.
Kaitannya dengan konsep atribusi, delegasi ataupun mandat JG. Brouwer berpendapat pada :
“Atribusi” kewenangan diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau “lembaga negara” oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya.
“Delegasi” adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institus) pemerintah atau “lembaga negara” kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya.
Pada “mandat” tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan pada organ lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil satu tindakan atas namanya.

Kewenangan harus dilandasi oleh suatu ketentuan hukum yang ada (konstitusi) sehingga kewenangan merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian pejabat dalam mengeluarkan putusan didukung oleh sumber kewenangan.

F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis untuk menelaah dalam masalah yang menjadi titik pembahasan dalam karya tulis ilmiah ini adalah tipe penelitian Normatif dengan menggunakan intrumen analisis interprestasi hukum yang komperherensif.
2. Pendekatan Penelitian
Penulis dalam memecahkan masalah menggunakan pola pendekatan penelitian peraturan perundang-undangan , yakni dengan menelaah semua aturan tertulis yang bersangkut paut dengan isu hukum yang di angkat pada penulisan ini. Dengan memadukannya pada pola pendekatan konseptual , yakni pola pendekatan penelitian dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang akan dibahas ; dan
b. Bahan sekunder terdiri dari literatur, jurnal, makalah dan karya ilmiah lainnya yang akan digunakan sebagai bahan pustaka dalam pembahasan perumusan masalah
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan bahan hukum yakni bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan isu hukum atau permasalahan yang telah dirumuskan dan diklasifikasi menurut sumber untuk mendapatkan jalan keluar dari pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Catatan Kaki :
Nurudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi (Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu), Prestasi Pustaka (Cet.I), Jakarta, 2007, Hal. 1
Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Yogyakarta, 2006, Hlm. 89.
Jimly Assiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press (Cetakan Ke III), Jakarta, 2006, Hlm. 3.
Risalah sidang perkara nomor 108/PHPU.B-VII/2009 dan 109/PHPU.B-VII/2009 Perihal Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009. Mahkmah Konstitusi, Jakarta, 2009.
Mochtar Kusumaatja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan masa Yang Akan Datang, makalah, Jakarta, 1995, Hal. 1.
Muhammd Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Hal. 72.
A. Hamid S. Attamimi dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, Hal. 5
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, 2000, Hal. 24
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 23 Maret 2004, hlm 1.
Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 2005, Hal. 17-18
Montesquieu dalam Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni Bandung, 1987, hlm 77.
Mirza Nasution, Negara dan Konstitusi, Bahan Ajar Ilmu Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 217
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 96.

0 komentar:

Posting Komentar